Memang kenapa kalau berjilbab tapi ga ngasih "sedekah" ke pengamen?

Yang nyupir berkerudung, mobilnya bagus, kok ada yang ngebersihin kaca ditolak, padahal kan cuman 200 juga diterima.

Itu adalah status teman Facebook suami saya yang saya baca ketika saya mengintip terang-terangan ketika suami membuka akunnya sekitar dua hari yang lalu. Ada sedikit rasa ingin berinterupsi waktu itu dan ingin berkomentar, tapi karena itu di akun suami saya, dan yang kenal suami, niat berpendapat harus diredam.
Status itu terlupakan sampai beberapa saat yang lalu (tanpa bermaksud riya) Ibu saya memberi nasi dan lauk-pauk pada salah seorang petugas satpam di lingkungan kami. Saya yakin pemberian Ibu saya bermanfaat untuk dia dan keluarganya.

Lingkungan saya tumbuh besar dan menikah memang sudah terbiasa berbagi dari sejak saya bisa mengerti, memahami. Dan ternyata sikap seperti itu diajarkan turun-temurun (warisan yang amat berharga, semoga Tuhan menghapus dosa-dosa buyut-buyut saya, dan mencatat ini sebagai sedekah mereka yang terus mengalir). Ibu pernah bercerita, sewaktu kecil dia diberi nasehat oleh neneknya:
Orang-orang disekitar kamu jangan cuman kebagian aromanya saja, kasih mereka masakan kamu setelah matang.
Nasihat itu diucapkan ketika Ibu membantu Uyut, di dapur. Praktek dan teori berjalan beriringan, karenanya ini salah satu nasehat yang dilakukan Ibu sampai sekarang.

Itu sebabnya keluarga kami memiliki budaya memberi, bukan meminta. Dan kalau saya ingat-ingat, memberi tanpa harus diminta, tanpa publikasi. Tanpa harus membersihkan mobil, bernyanyi, menari, punya monyet yang dapat mendoger, punya luka berbalut perban, tak bisa melihat, dan sebagainya. 

Lalu apa itu sedekah? Apa sedekah harus berpamrih? Lo, bocah kecil, hujan-hujanan dulu, sampai ingusan, pake baju gombrang, yang lusuh, robek-robek, terus mengiba, sampai hati gua terenyuh, baru gua kasih. 200 perak, nih, mau ga?? Hayoh sanah, basah-basahan dulu, gih!

Apa orang yang secara ekonomi berada di bawah kita harus seperti itu? Harus memiskinkan diri lebih dari keadaan dia yang sebenarnya? Harus mengiba, putus harapan, melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak kita perlukan (saya punya pemutar audio dimana-mana, yang nyanyi The Strokes yang asli, secara saya belum pernah denger pengamen jalanan maenin lagu The Strokes), baru dapat uang? Kemana kemampuan mereka, keahlian mereka yang bermanfaat? Apa kesempatan mereka mendapatkan uang dengan harga diri tetap di dada sudah sebegitu tertutup? Dari satu bulan kita berkendaraan, berapa kali kita benar-benar membutuhkan orang yang membersihkan kaca mobil kita, hingga kita mengupahi mereka, bukan sekedar memberi?

Saya termasuk orang yang jarang memberi uang pada pihak-pihak yang memberikan jasa mereka di perempatan jalan. Kecuali, suara mereka memang bagus, saya akan memberi mereka uang dengan hati senang. Sama kondisinya dengan orang-orang yang suka rela merogoh kocek ke Jakarta untuk nonton Java Rockin Land. Sikap saya bertentangan dengan orang-orang disekitar saya. Ada yang bilang, itung-itung sedekah, buang sial, dll. Tapi maaf, saya bersedekah ditempat yang tidak membudayakan orang meminta, tidak mengerdilkan kemampuan orang. Hanya Tuhan yang berhak menilai sedekah kita ibadah atau bukan, tapi saya juga ingin orang Indonesia itu ga lemah, pengemis! Apa sih kategori sial? Yang dimaksud sial itu apa? Duit hilang? HP dicuri orang? Laptop rusak? Rambut rontok? Punya pacar bau badan? Apa lalu kamu meminta pertanggungjawaban para peminta itu kalau kamu tetap kena sial? Kenapa ga menilai keadaan atau kejadian yang kamu anggap ga menguntungkan itu sebagai pelajaran? Kata D'Masiv juga: Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah. Jangan menyerah!

Saya berkerudung, walau belum punya mobil, tapi status di atas ternyata mengganggu. Saya ga memposisikan diri sebagai penyambung lidah si wanita di dalam mobil itu, dia punya alasan sendiri. Gimana kalau dia memang pelit? Tapi apakah dengan berkerudung maka harus bersedekah di berbagai kesempatan, di berbagai waktu, tempat dan kondisi? (kalo engga lo bakal masuk status Facebook orang yang liat loh! imej, jeng, imeeej!) Apakah bersedekah itu hanya sekedar memberi uang, tanpa juga memberi pengajaran, ilmu? Apakah ibadah itu hanya sekedar kegiatan rohani dengan Tuhanmu saja, tanpa akal, ragawi, berkegiatan dengan mahluk ciptaan-Nya? Apa "nilai" sebuah pemberian bergantung pada status keduniawian kita? Yah, masa' sih gubernur cuman ngasih mie, petugas kecamatan aja ngasih roti. Begitu?

Apa budaya meminta-minta di masyarakat sudah sebegitu parahnya, hingga kita malah mempermasalahkan ada orang yang ga mau memberi, bukan ada orang yang meminta-minta?

Cubithus, burung kenari keluarga Soetrisno


Ini dia anggota keluarga terbaru. Burung kenari jantan berumur sekitar dua setengah tahunan. Namanya Cubhitus Kunginus Ramengus Bawa'uus, hehehe... Welcome to our backyard, Ubit! :D

Tea Time

Selain menggunakan lidah buaya, saya juga menggunakan air teh basi untuk rambut saya setiap pagi. Kebiasaan ini sudah saya lakukan dari 3-4 tahun yang lalu. info ini saya dapatkan dari Kiki, mantan teman kerja. suatu hari dia cerita, saat dia dan ibunya beli nasi kuning untuk sarapan. Nci-nci yang menjual nasi kuning itu wajahnya muluuus sekali. Ketika ditanya rahasianya apa, Nci Nasi Kuning itu mengatakan kalu dia sudah bertahun-tahun selalu mencuci muka dengan air teh basi.



Info itu membuat saya terinspirasi untuk memiliki kulit wajah mulus dambaan seluruh umat. tidak seperti lidah buaya, saya memang rajin menggunkan air teh basi. Ini karena air teh hitam selalu tersedia di rumah, setiap hari Ibu selalu membuat sepoci kecil air teh untuk sekeluarga. Disebut teh hitam karena teh ini melalui proses oksidasi lebih lama dibanding teh jenis lain, beraroma kuat dan tahan lama (kalau disimpan dengan benar). Tehnya bukan teh celup, apalagi kalau dapat kiriman oleh-oleh dari tetangga yang menanam  teh di kampung halamannya di Garut, saya makin semangat. saya tidak perlu mecampur dengan bahan-bahan lain, mengupas atau memotong atau menumbuk, tinggal basuhkan muka, beres. Anggap saja cuci muka biasa setelah bangun tidur. Sederhana banget kan. 

Sore itu juga saya menitip pesan pada Ibu agar nanti subuh, air teh sisa hari subuh jangan dibuang, saya akan memakainya. Tapi Ibu bilang, setahu Ibu air teh basi itu untuk rambut, karena Nenek juga sering menggunakannya. Sekali dayuh, dua tiga pulau dibeli. Ya sudah, rambut dan muka dirawat sekalian. Dan pagi itu saya menemukan sisa air teh sudah disimpan apik di sebuah panci kecil (thanks Mom). Sejak saat itulah saya mulai melakukan ritual cuci muka dan membasahi rambut dengan air teh basi. 

Caranya, untuk muka tinggal dibasuh saja, jangan lupa daerah leher. Lebih baik, kalau ada, ampasnya digosok-gosokkan pelan. Nenek bilang, itu dapat menghindari timbulnya benjolan-benjolan kecil berwarna putih di daerah sekitar pipi, istilah bahasa Sundanya sih kokoloteun. Memang pada teh terkandung kafein alami yang dapat memperbaiki kulit yang terbakar sinar UVB matahari. Selain itu, polifenol, sebagai anti oksidan, pada teh dapat mencegah berkembangnya sel-sel kanker dalam tubuh dan dapat mengobati diabetes. Kandungan polifenol dalam dua cangkir gelas teh setara dengan antioksidan yang terdapat pada 7 gelas jus jeruk atau 20 gelas jus apel. Satu cangkir teh pun sudah mencukupi kebutuhan vitamin E untuk satu hari.

Kalau rambut cukup dibasahkan sekenanya saja lalu ditepuk-tepuk ringan. Bagian rambut yang saya basahkan juga tidak seluruhnya, hanya sekitar ubun-ubun, asal basah. Hasilnya saya rasakan sekitar setahun belakangan (entah karena efeknya yang lambat, atau karena saya yang kurang cepat menyadari). Area kulit kepala yang tadinya tidak lagi memproduksi rambut akibat stres, lambat laun muncul rambut-rambut halus. Bisa jadi ini karena zat  catechin yang dapat melebarkan pembuluh darah melalui pembentukan nitrit oksida. Wuaaah, senangnya! :D

Makanya, sekarang rambut saya seperti berantakan, itu karena banyak rambut-rambut baru yang muncul belakangan mulai memanjang, tapi belum cukup panjang, alhasil mereka jadi rambut berdiri. Benar-benar memberikan efek rambut tidak rapih sepanjang hari. Tapi karena ini adalah efek samping atas sesuatu yang baik, saya terima-terima saja.

Sekarang, saya mengombinasikannya dengan lidah buaya yang dapat mempercepat tumbuhnya rambut. Semoga rambut-rambut berdiri ini cepat panjang, jadi bisa duduk dan terurai dengan indah. Amiin... ;]

Manfaat Lidah Buaya

Tau apa enaknya ga kerja kantoran? Kebebasan waktu! Tadi pagi sebelum suami bangun, saya udah motong-motong daun lidah buaya buat diolesin ke rambut. Biar subur. Sebenernya saya dari jaman SD pernah pakai, biasanya waktu hari Minggu, jadi bisa mandi lebih siang, ga keburu-buru takut jemputan sekolah datang. Tapi jaman dulu masih males merawat diri. Ngapain pake lidah buaya, toh sudah banyak orang yang bilang rambut saya tebal. Usaha yang berlebihan kalau saya harus mengolesi rambut dengan lidah buaya. Alasan kedua adalah, tanaman lidah buaya di rumah Ibu ukurannya kecil-kecil, sepertinya karena kurang kena sinar matahari. Ga tega kalau harus dipotong tiap minggu.


Tapi pas jaman kuliah tingkat akhir, rambut saya benar-benar rusak. Rontok, rapuh, kusam, pecah-pecah. Biasa, stress. Dari saat itulah rambut eyke menipis, terus, terus, terus, dan terus… 

Untungnya, di rumah Mamah, ibu mertua, punya beberapa tanaman lidah buaya, gede-gede lagi. Dibandingkan dengan yang di rumah Ibu, lidah buaya di rumah Mamah itu raksasa. Satu daunnya, bisa untuk satu kepala, kulit kepala plus batang rambutnya. Mantaps! :D Selain dioleskan ke rambut, saya juga mengoleskan lidah buaya ke alis dan bulu mata. Sudah 2 minggu ini saya mengoleskan gel lidah buaya setiap mau keramas, dua hari sekali.

Pertanyaannya, apa benar lidah buaya dapat menyuburkan rambut? Sudah dibuktikan belum? Hasilnya? Sebenernya sih, saya ini emang ga terlalu telaten merawat badan sendiri. Pakai lidah buaya ini baru-baru sekarang aja, sekitar 2 minggu, jadi belum kelihatan hasilnya. Tapi sempet seharian si lidah buaya ga dibasuh-basuh. Gara-garanya mendadak main seharian bareng keluarga suami. Dikirain cuman sejam, ga taunya ada sampai 6 jam cairan lidah buaya nangkring di rambut. Hasilnya rambut SAMA SEKALI ga rontok selama 3 mingguan. Waktu disisir, maupun waktu rambut lagi basah :D

Selain untuk menjaga kesuburan rambut, lidah buaya atau aloe vera berfungsi sebagai antioksidan dan merangsang pertumbuhan sel baru pada kulit, makanya banyak produk-produk kosmetik yang menggunakannya karena dapat menjaga kelembaban kulit. Ini karena adanya zat lignin dan polisakarida yang terkandung di gel lidah buaya yang dapat masuk dan meresap ke dalam kulit, sekaligus menjadi media pembawa nutrisi yang dibutuhkan kulit. Lalu lendir akan menahan hilangnya cairan tubuh yang ada di permukaan kulit. Hasilnya kulit akan awet muda. Selain itu tingkat keasaman  lidah buaya yang sama dengan kulit manusia dapat mengembalikan keseimbangan kulit dan membersihkan noda dan kotoran pada wajah. Asam amino yang ada pada lidah buaya juga dapat membantu perkembangan sel-sel baru dn menghilangkan sel-sel yang sudah mati. Makanya lidah buaya juga bisa mengobati luka ringan pada kulit. Tapi gel yang akan dioleskan pada luka harus dari lidah buaya yang segar, karena seperti apel, lidah buaya juga cepat menjadi kuning setelah dipotong karena telah teroksidasi hingga beberapa zat yang dikandungnya rusak, jadi setelah dikupas, harus cepat-cepat dioleskan pada luka. Tapi wajah saya cenderung sensitif terhadap getah/cairan dari tanaman atau buah-buahan. Kalau di masker, yang ada malah merah-merah karena gatal.

Untuk ayah saya yang punya diabetes yang tidak bergantuk insulin, lidah buaya juga bisa menjadi  obat alternatif. Mitosnya, tanaman-tamanan yang pahit memang bagus untuk menurunkan gula dalam darah seperti biji mahoni, mahkota dewa, dll. Gel lidah buaya memang pahit, saya pernah mencobanya tanpa disengaja. 

Saya juga pernah lihat di sebuah acara berita ringan di televisi, di Kalimantan (saya lupa daerah mana), lidah buaya dijadikan minuman, seperti nata de coco. Khasiatnya sebagai pengobat panas dalam dan mendinginkan suhu tubuh. Daging lidah buaya diolah dulu, dikupas bersih dari kulitnya, direndam, lalu campurkan air gula. Segaaar… :}

Makanya, nanti, kalau sudah punya rumah sendiri, tanaman obat yang wajib ada selain daun sirih, saya tambahkan lidah buaya. Saya akan sisakan satu petak tanah penuh sinar matahari untuk si Aloe Vera ini. :)

Mari Merajut: Hari 1

Hari Sabtu kemarin, tgl 17/10, akhirnya saya maksain diri ke Tobucil. Soalnya udah ditunda-tunda terus sampai 4 bulan sih! Pengen bisa ngerajut, pengen bangeut. Awalnya karena liat program Jelang Siang di Transtv pada bulan April tentang merajut menggunakan tangan, terus nyari kursusnya di Bandung. Pas liat-liat di internet, ternyata dunia perajutan begitu luas dan menarik. Hasilnya manis-manis, lucu aja ngebayangin semua anggota keluarga saya pakein hasil rajutan sendiri. Co cweeet...

Ternyata di Tobucil juga ada kursus merajut (nyesel kenapa ga dari pas jaman kuliah nimbrung kursus-kursusnya). Ada beberapa pilihan tempat kursus sih, tapi yang paling deket dari rumah ya Tobucil itu, dan juga Tobucil setau saya sudah mungkin hampir 6 tahunan buka kursus berbagai macam artwork. Soalnya pas jaman kuliah sempet dapet brosur kursusnya. Tadinya setelah tau tempatnya mau langsung aja kursus, tapi waktu itu udah deket banget sama kawinan saya, mana ada kelasnya cuma Sabtu-Minggu aja, mana udah mulai ga boleh keluar rumah jauh. Sebenernya bisa aja nekat ga peduli dengan pingit surpingitan itu, cuman masalahnya saya juga udah mulai puasa mutih biar pas hari H ga keluar keringet banyak, akhirnya saya lemah lunglai. Terlalu ringkih untuk keluar rumah dan menuntut ilmu (lebay mode on).

Setelah nikah, ada aja gangguan dan godaan yang membuat rencana belajar merajut ditunda kembali.  Undangan kawinan, keperluan lain, suami banyak kerjaan, puasa, lebaran, mudik, ketiduran, kelaparan, ujan, ga ada duit, males... Oh gosh! Tadinya, sabtu kemaren juga bakalan batal karena suami harus ngurusin accu mobilnya yang soak. Cuman saya maksa, anter ke depan perumahan aja, dari sana naek angkot sendirian gak
apa-apa, cuman sekali angkot ini kok. Kalo minggu males keluar, lebih macet sih!. Alasan saya. Suami setuju, sambil ngambil accu yang lagi disetrum di depan perumahan juga.

Akhirnya!
Hanya tiga puluh menit ternyata sudah sampai ke Tobucil. Saya datang tiga puluh menit lebih awal dari jam masuk kelas. It's okay, liat-liat koleksi Tobucil aja dulu. Hey ternyata hey-hey, gurunya, Mba Upi, telat datang. Sekitar jam 14.30 baru nyampe. Mungkin karena acara Bandung Blossom dalam rangka ulang taun Bandung. Atau mungkin karena kecegat Viking dalam rangka menonton bareng Persib vs Persiba yang akan tanding di Gor Siliwangi malamnya. Mungkin Mba Upi harus memintal dulu benang wool-nya. Walahu alam, saya terlalu lapar untuk bertanya. Yang penting sudah datang, hayu atuh kita let's go.

Karena saya mengambil yang perdatang, saya harus membeli peralatannya dulu, jarum dan benang wool.  Mba Upi menyarankan saya membeli jarum kayu 9 mm karena jarum yang biasa (ga tau yang kayak gimana) sudah habis. Karena jarumnya besar, benang wolnya juga harus yang besar. (Bukan karena badan saya yang  besar kan, Mba?)

Ternyata!
Pusing juga euy. Mata harus menyimak jarum dan jemari sang guru. Kemaren baru diajarkan dua bentuk rajutan. Pembuka/awal dan tengah/badan, belum juga sampai ke penutup/akhir, waktu sudah habis.  Nama-nama tersebut saya yang buat, jadi kalau ternyata namanya beda dengan nama standar, wajar...



Dua jam yang begitu cepat berlalu itu pergi meninggalkan saya dan rajutan yang masih pendek. Diteruskan lagi besok, kata Mba Upi. It was so exiting! Walau bulak-balik salah melulu, sempat dibongkar habis, bis, bis dari awal, tapi rasanyanya menyenangkan. Niat untuk jadi ahli merajut terus ada. Harus bisa ah! Biar nanti suami pake sarung tangan motor biar tangannya ga belang. Mamah dibikinin sweater yang anggun. Ibu ta' bikinin pasmina. Teh Yani udah titip bikinin topi rajutan. Buat bayiku, yang saat ini masih dalam proses pembuatan, Ambu bikinin kaos kaki sama topi ya. Mungkin selimut kecilnya juga. Impian...

Gimana dengan hasil rajutan saya? Setelah dua hari, hasilnya masih sama dengan hasil yang saya bawa pulang dari Tobucil. Bukan karna saya ga merajut, tapi justru karna saya merajut. Merajut dengan cara yang salah. Karena saya ga ngerti awal kesalahan ada dimana, saya bongkar lagi dari awal. Mungkin ada 4 balikan saya bongkar-rajut. Sempet kesyel, ga maju-maju. Benang wol jadi lebih melintir dan berbulu. Heuh! Tapi, seperti kata Bob Sadino, kesuksesan itu puncak dari gunung kegagalan. Setiap kesalahan berbuah pengertian dan
pengetahuan. Dapet deh trik-trik biar jadi bener. Trik-trik ini saya dapetin sendiri, sebagai jawaban atas kesalahan sendiri. Jadi Sifatnya personal. Hal-hal yang seperti ini, mungkin ga bisa dikasih tau Mba Upi.

Hal yang menarik dari kelas kemarin: Konvoi Viking menggunakan motor, mini bus, angkot yang lewat depan Tobucil dan hari itu sedang ada liputan Mas Syarif, guru KlabKlasik, yang dimintai Mba Tarlen, pendiri Tobucil, meliput kegiatan yang sedang berlangsung. Sayangnya ga pake kamera, hanya tanya-tanya saja. Ga ada yang bawa kamera selalin yang terfitur di hp, Mas Syarif ketinggalan kameranya sedangkan kamera Mba Upi habis baterai. Ya weiys, no picture...

Hayoh, mulai merajut lagi. Biar Sabtu depan bisa bawa dengan hasil yang signifikan :)

Salam! n_n

Wihiw, akhirnya bisa nulis juga nih. Sebenernya kemampuan menulis itu pasti ada di setiap manusia, including me, tapi niat menulisnya itu, brow.. Thanks to my hubbydubbydoo, yang terus mendorong untuk menuliskan ilmu, pengalaman, ide, pemikiran, dll karena setiap orang punya sisi yang berbeda dan pasti menarik. n_n